Tips Hemat ke Baduy, 2 Hari 1 Malam Cuma Dua Ratus Ribuan

Kalau dengar kata Baduy, apa sih yang ada di pikiran kalian? Pasti penasaran dong dengan suku yang berasal dari Banten ini.

Kampung Baduy letaknya di kaki pegunungan Kendeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Nah, dalam tulisanku kali ini aku bakalan mengulas perjalananku ke Baduy pada 7 dan 8 September 2019.

Perjalanan ini bermula dari rencana yang enggak disengaja. Sekitar beberapa bulan sebelumnya, temanku Arum sama Rizal nyeletuk pengen main ke Baduy. Dan akhirnya, jeng..jeng... Emang yah, sesuatu yang enggak terlalu direncanakan itu selalu kesampean hehe.

Oke daripada berbasa basi ria, kita langsung aja ke inti yang mau aku ceritain. Penasaran? Enggak? Ya udah enggak apa-apa, aku akan tetap cerita hehe.

Aku berangkat ke Baduy bareng 10 temanku. Arum, Sarah, Mbak Okky, Mbak Ema, Mba Wiwi, Alim, Alif, Eko, Dimas, dan Gian. Lha?? Rizal mana ini Rizal? Kan doi yang awalnya mau yah? Nahh.. H-2 sebelum berangkat, Rizal menyatakan enggak ikut karena sakit. Yahh.. Penonton kecewa..

Singkat cerita, meeting point kami di stasiun Tanah Abang. Pukul 7.50 WIB kami berangkat dari stasiun Tanah Abang menuju stasiun Rangkasbitung, ongkosnya 8ribu aja. Perjalanan memakan waktu 2.5 jam.

Sampai di Rangkasbitung, kami naik elf yang sebelumnya udah di booking sama Gian. Karena kami 11 orang, ongkos elf nya 800ribu PP (nanti elf ini juga akan jemput kami saat perjalanan pulang). Untuk harga elf pintar-pintar kita negosiasi aja, barangkali bisa dapat harga lebih murah.

Dari Rangkasbitung kami menuju desa Cibolegar, waktunya kurang lebih 1.5 jam. Itu udah sama istirahat bentar buat makan nasi padang hehe. Elf nya ngebut cuy!

Tepat pukul 12.18 WIB kami sampai. Oh ya, kalau mau booking elf, bisa kontak nomor ini ya +62 858-8365-8693. Dan kalau emang dari awal belum booking elf, bisa langsung datang aja ke terminal Rangkasbitung untuk naik elf  tujuan Cibolegar.

Desa Cibolegar, tempat elf terakhir berhenti sebelum mulai masuk Baduy Luar.
Di Desa Cibolegar, kami sudah ditunggu Agus. Agus ini adalah warga asli Baduy Dalam yang bakalan menemani perjalanan kami. Jadi sebelum berangkat ke Baduy, Arum udah ngontak Agus. Kebetulan Arum emang udah kenal Agus karena pernah ikut open trip sebelumnya ke Baduy.

Nah, buat teman-teman yang pengen ke Baduy boleh nih hubungi Agus +62 813-1741-7689. Agus umurnya 19 tahun dan sudah menikah. Anaknya baik dan asik banget. Doi juga mirip Umay Shahab! Haha. 

Agus - Aku - Idong (Lokasi: Jembatan Akar Baduy Luar)
Setelah beres solat, tepat pukul 13.19 WIB perjalanan yang menguras bak mandi tenaga pun dimulai! Tapi sebelumnya, di depan gerbang masuk kita bakalan dikenakan biaya retribusi sebesar 4ribu/orang.

Gerbang masuk ke Baduy Luar.
Ada apa aja di sepanjang perjalanan? Sekitar 50-100 meter dari depan gerbang, banyak pedagang yang menjajakan cenderamata, mulai dari gelang, kalung, gantungan kunci, kain khas Baduy, tas, dan banyak lagi. Ada beberapa rumah penduduk juga yang bentuknya rumah panggung. Tapi, makin ke dalam...Wah! Aku dikejutkan pemirsa!

Salah satu desa yang kami lewati di perjalan.
Kami dan beberapa rombongan lainnya.

Awalnya, aku kira perjalanannya bakalan lurus dan datar-datar aja, kayak masuk desa gitu. Ternyata! Daebakk.. Ini sih 11-12 kayak nanjak Mahameru guys!


Oke, bukan lebay atau gimana, kebetulan emang gunung satu-satunya yang pernah aku daki itu Mahameru, jadi aku cuma bisa bandinginnya sama Mahameru haha. Soalnya kayaknya rasa capeknya sama aja gitu, kayak mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera.

BACA JUGA: Mendaki Mahameru dalam Kondisi Sakit; Bisakah Aku Sampai Puncak?

Jadi, buat yang pernah atau udah biasa naik gunung, mungkin enggak akan banyak kendala selama perjalanan, karena udah biasa membayangkan medannya gimana. Tapi, kalau enggak pernah naik gunung, aku saranin olahraga dulu dari jauh-jauh hari deh hehe, biar enggak syok, pegel, dan ngos-ngosan di perjalanan.

Kurang lebih setelah 3 jam, sekitar pukul 16.08 WIB, sampailah kami di perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Selama di perjalanan kami cukup banyak istirahat, jadi lumayan menghabiskan waktu.

Kalau capek kita bisa istirahat.
Tapi lebih baik kayak gitu, kalau emang capek ya istirahat. Jangan dipaksa jalan terus. Karena emang jalurnya itu sama kayak naik gunung.

Fyi guys, di Baduy luar, kita masih boleh foto-foto dan menggunakan peralatan elektronik. Tapi, kalau udah masuk Baduy Dalam semua perangkat elektronik mesti dimatiin ya. Dan enggak boleh foto apapun.
Foto dulu, sebelum HP dimatiin guys!
Jembatan perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Di ujung sana udah enggak boleh foto lagi ya.
Kenapa? Jadi ini emang peraturan yang ada di Baduy Dalam sejak lama. Dan tentunya harus kita hargai dan hormati.

Kalau ngelanggar gimana? Pasti ada sanksi di balik segala perbuatan yang merugikan. Karena sebenarnya semua balik lagi kepada kesadaran diri sendiri untuk saling menghormati sesama manusia

Melihat dan Menyapa Langsung Masyarakat Baduy Dalam

Butuh waktu sekitar 1.5 jam lagi untuk sampai ke Baduy Dalam dari perbatasan Baduy. Perjalanan juga terasa semakin melelahkan. Tebing semakin tinggi. Tapi syukurnya, tepat pukul 17.30 WIB kami sampai di tujuan akhir, Baduy Dalam dengan selamat. Alhamdulillah!!

Ada tiga desa di Baduy Dalam, yakni Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Kami beserta rombongan lainnya menginap di Cibeo. Dari informasi, di antara tiga desa di Baduy Dalam, baru desa Cibeo dan Cikeusik yang warganya mau membuka diri dan menerima tamu. Tapi, yang paling ramai di Cibeo.

Setiap satu rombongan biasanya menginap di satu rumah. Namun, bisa juga menginapnya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Nah, kami ber-11 kompak menginap di rumah Agus. Oh ya, kalau mau menginap di Baduy, hanya boleh satu hari dan itu saat weekend ya, jadi pergi Sabtu, pulang Minggu. Kenapa? Sudah peraturan di sana begitu.

Rumah penduduk Baduy Dalam bentuknya rumah panggung. Dengan lantai dan dinding terbuat dari bambu, serta atap jerami. Setiap rumah bentuknya sama. Terdiri dari tiga ruangan, yakni ruang depan (tamu tidur di sini), dapur, dan ruang tidur (tapi di dalamnya ada tungku juga, bisa dipakai masak juga haha). Nah, ruang depan dan dapur tidak bersekat, yang disekat hanya ruang tidur. Pintu pun cuma satu, di depan rumah.

Peralatan di dalam rumah juga seadanya, hanya tikar, peralatan masak seperti tungku, kuali. Alat makan seperti mangkuk, sendok, dan gelas. Untuk penerangan, mereka menggunakan lilin atau sumbu minyak yang dibakar dengan api. Enggak ada lampu, listrik juga enggak ada. (Serius aku enggak lihat apa-apa lagi).

Sayangnya semua enggak bisa didokumentasikan, karena memang dilarang mengambil foto. HP saja harus dimatikan. Jadi, buat yang ingin melihat bagaimana situasi perkampungan Baduy Dalam, harus datang langsung!

Rumah penduduk Baduy Luar. Rumah di Baduy Dalam juga serupa kayak gini, cuma terasnya lebih kecil.
Badanku hari itu rasanya lengket banget! Keringat enggak tahu udah mengalir berapa liter. Satu-satunya yang ingin aku lakuin adalah mandi! Sayangnya lagi, di Baduy Dalam enggak ada kamar mandi, adanya sungai. Itu juga enggak gede. Mandi, mencuci, buang air kecil dan buang air besar dilakukan di sungai itu. Terus aku jadi mandi enggak? Enggak hiks.. Cuma ciprat-ciprat air aja haha.

Oh ya, yang menariknya di Baduy Dalam kita enggak boleh mandi pakai sabun! Serius? Iya! Mereka anti bahan kimia kayak sabun. Mandi dan nyuci pakai air mengalir aja. Jadi kalau ke Baduy, jangan lupa bawa tisu basah ya!

Untuk kebutuhan makan, karena kami rombongan mandiri bukan open trip, kami sudah bawa bahan makanan kayak beras, ikan asin, mie instan, sayur, cabai, tempe, bumbu dapur dan lainnya. Saranku, kalau kalian mau ke sini secara pribadi, jangan bawa bahan makanan yang susah! Pertama, ribet bawa dan masaknya, terus juga takut busuk di jalan karena kepanasan hehe.

Selain itu karena di sini enggak ada suara adzan apalagi mesjid, jadi untuk tahu waktu solat bisa diperkirakan saja dari jam. Untuk arah kiblatnya, bawa kompas aja. Meski kepercayaan masyarakat Baduy dan kita berbeda, tapi mereka enggak masalah kalau kita solat di rumahnya. Enggak cuma itu, sekolah dan rumah sakit juga di Baduy enggak ada, jadi masyarakatnya enggak ada yang sekolah. Mereka belajar otodidak, kayak belajar baca, berhitung, semua sendiri. Kalau sakit, mereka berobat ke dukun atau seorang yang dianggap 'orang pintar' di sana.

Nah, malam hari kami isi dengan ngobrol bareng keluarganya Agus, ada Ambu, adiknya Agus, dan istri Agus. Mereka orangnya terbuka dan mau menjawab kok kalau ditanya.

Masyarakat Baduy sebenarnya sama aja kayak kita guys, mereka juga manusia biasa, punya keinginan dan harapan. Hanya saja, mereka sangat menjaga tradisi dan kepercayaan nenek moyang. Khususnya Baduy Dalam, mereka masih bertahan untuk enggak pakai alas kaki kemana pun, enggak boleh naik kendaraan, baju hanya boleh hitam/putih dan banyak lainnya.

"Agus pernah ke Bandung?"
"Belum pernah, tapi Paman saya pernah, 5 hari jalan ke Bandung,"
"Agus enggak ada keinginan main ke Sumatera?"
"Keinginan ada, cuma takut enggak kuat renangnya,"


Ya Tuhan, itu hanya sedikit dari ratusan pertanyaan yang kami lontarkan. Mendengar jawaban Agus, aku bingung harus bereaksi bagaimana. Di zaman yang sudah sangat modern, ada kendaraan, tapi mereka menolak semua kemajuan tersebut. Entahlah, aku juga tidak mau menghakimi.
 
"Agus kalau pergi kan enggak pernah pakai sendal? Emang enggak sakit kakinya?"
"Ya sakit, tapi udah biasa. Pernah luka juga, kena paku,"
"Waduh? Kena paku?
"Iya paku hutan,"
(Kami semua bergidik ngeri, membayangkan sebesar apa paku hutan)
"Iya pakis, (tumbuhan pakis)" celetuk Agus yang membuat kami langsung tertawa terbahak-bahak!


Hahaha... Agus ini cocok jadi stand up comedy guys! Itu hanya sebagian kecil kelucuan Agus yang bikin perut kami terkocok.

Hmm sebenarnya banyak lagi hal yang ingin aku sampaikan soal masyarakat Baduy. Tapi, sepertinya tulisan ini akan sangat panjang. Jadi, kusudahi sampai di sini saja ya!

Terima kasih karena sudah membaca :)

Berikut ini beberapa dokumentasiku selama di perjalanan,






Catatan:
-Untuk rute pulang, perjalanan enggak terlalu lama kayak pergi, tapi tetap jauh dan melelahkan. Kami juga sempat singgah di Jembatan Akar dan main di sungai. Terakhir kami dijemput oleh elf di Desa Cilangir.
-183.000 belanja bahan makanan
-800.000 ongkos elf
-44.000 biaya masuk baduy 11 orang
-Biaya menginap di rumah Agus (seikhlasnya, karena mereka enggak mengenakan tarif, tapi biasanya 200-300ribu, boleh dilebihkan.)
-Biaya jasa guide Agus dan kawan-kawannya (seikhlasnya, tapi biasanya 150-200ribu, boleh dilebihkan juga)
-Oh ya, kalau enggak kuat bawa tas / carrier, bisa pakai jasa porter juga.
-Intinya, dari perjalanan kami yang ber-11 ini selama 2 hari 1 malam di Baduy, kami hanya patungan 200ribu guys!

Komentar

  1. mantap. detail banget tan. mungkin kontak elf nya juga bisa di-share. Kemaren aku nyari kontak elf susah banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oia benerr, kontak elf penting tuh wkwk. Baiklah, terima kasih masukannya Rum wkwkw

      Hapus
  2. Mau kesana tpi ga kuat nanjak. Gmna dong 😭😭😭😭😭😭😭😭😭

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Traveling ke Malang Sendirian? Siapa Takut!

Liburan Sehari di Pulau Pari, Bisa Ngapain Aja?

Batu; Destinasi yang Wajib Kamu Jelajahi Saat Berada di Malang!

Begini Rasanya Sehari Melancong ke 3 Pulau; Kelor, Onrust, Cipir

Review Drama Korea Prison Playbook, Mereka yang Memanusiakan Manusia

Review Drama Korea Itaewon Class, Mereka yang Tak Kenal Menyerah

Sekilas Tentang Belitung Bagi yang Ingin Berkunjung

Indahnya Alam Pangalengan; Wisata Situ Cileunca dan Curug Panganten

Review Drama Korea Melting Me Softly, Jatuh Cinta Bagai Menunggu Es Mencair