Mendaki Mahameru dalam Kondisi Sakit; Bisakah Aku Sampai Puncak?
Menjelajahi Mahameru dengan kondisi badan yang tidak fit
bukanlah pilihan yang dianjurkan, terutama untuk pendaki pemula, sepertiku. 16
November 2017, aku berkesempatan untuk bertualang ke Mahameru. Aku tidak
sendiri, aku bersama seorang temanku, Robi. Perjalanan ini sebenarnya sudah
kami rencanakan dari jauh-jauh hari, semula ada beberapa teman kami lainnya
yang juga ingin ikut, tapi karena berbagai hal akhirnya hanya aku dan Robi yang
lanjut.
Awalnya aku sempat ragu, melihat kondisiku yang saat itu
tidak 100% sehat, tapi karena sudah kepalang membayar biaya open trip serta
membeli semua keperluan naik gunung, yang nominalnya tidak kecil bagiku, akan
sangat sayang jika aku batalkan begitu saja. Oh ya, sebelum mendaki, kita harus
mengurus surat sehat di puskesmas ataupun rumah sakit. Aku sudah mendapatkan
surat tersebut 2 hari sebelum berangkat, sedangkan sakitku mulai berulah hari H
ketika akan berangkat.
Aku berangkat dari Pinang Ranti Jakarta Timur sedangkan Robi
berangkat dari Bandung. Tujuan kami adalah stasiun Pasar Senen yang merupakan
meeting point dari open trip tersebut.
Aku mulai panik saat melihat jam sudah mununjukkan pukul 15.00 WIB, sedangkan saat itu aku masih berada
di atas transjakarta. Kereta akan berangkat pukul 15.15 WIB. Ah pikiranku sudah mulai kacau,
bagaimana jika aku telat dan ketinggalan kereta? Apa aku harus melakukan adegan
seperti pada film 5cm? Berlari mengejar kereta hmm. Aku bukan sengaja berangkat
di jam yang cukup mepet, hanya saja saat itu memang ada urusan yang harus
kuselesaikan dulu. Tapi syukurnya aku sampai lebih dulu 5 menit sebelum kereta
melaju.
Aku adalah peserta terakhir yang saat itu ditunggu. Setelah
aku datang, rombongan langsung berlari menuju gerbong. Petualanganku dimulai
detik itu juga.
Perjalanan dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Malang Kota
membutuhkan waktu yang tidak sebentar, 16 jam. Aku merasa kondisi tubuhku makin
menurun saat itu. Aku sulit menelan makanan, radang tenggorokan yang sedang
kuderita semakin menjadi. Ditambah aku sedikit demam.
Akhirnya rombongan tiba di Malang pukul 8 pagi. Perjalanan
dilanjutkan ke homestay untuk beristirahat sejenak dan makan siang. Ah Tuhan,
rasanya aku ingin mengumpat radang tenggorokan ini! Makanan yang disajikan oleh
pemilik homestay sangat menggiurkan, sambalnya harusnya bisa aku cicipi! Tapi apa
daya, kerongkonganku sangat perih saat itu. Bahkan menelan liur pun sakit! Sungguh!
Jeep
yang kami gunakan untuk ke Ranupani. Kami berangkat dalam kondisi hujan |
Sekitar pukul 13.30 rombongan bersiap untuk menuju pos Ranupani.
Dari Homestay kami menaiki jeep. Kondisi langit saat itu tak bersahabat, hujan
pun turun tanpa permisi. Walau demikian, perjalanan tetap dilanjutkan. Selama perjalanan,
aku tidur, aku merasa sudah lelah duluan sebelum berperang. Padahal katanya,
banyak keindahan yang bisa dinikmati di kanan kiri jalan.
Tiba di Ranupani pukul 14.30, di post ini seluruh kelengkapan
untuk mendaki dicek terlebih dulu, terutama identitas dan dokumen penting
lainnya. Oh ya, rombongan kami terdiri dari 11 orang, dengan 4 perempuan, dan 7
laki-laki. Saat itu Ranupani tidak terlalu ramai, sehingga tidak terjadi
antrian yang berarti.
Sebelum mendaki, rombongan perlu mengisi perut lagi. Cuaca
yang mendung dengan udara yang begitu dingin menjadikan bakso sebagai makanan
yang pas untuk dinikmati, namun rupanya tidak untukku. Saat itu aku hanya bisa
makan nasi putih! Iya, nasi putih tanpa lauk apa-apa yang kubeli di warung
sekitaran pos.
“Bi, aku kaya orang
sakit nggak?” tanyaku pada Robi yang untungnya mau menemani aku makan di warung
ini saat yang lain memilih makan bakso.
“Banget!”
“Kalau aku mati di jalan gimana?”
“Ya dikubur.”
“Haha lucu gembel!”
Beres mengisi perut, kami briefing dan berdoa agar perjalanan
kami lancar. Tepat pukul setengah 4 sore, kami memulai pendakian. Cuaca masih
mendung saat itu. Jas hujan pun tak lepas selama perjalanan berlangsung. Target
hari ini adalah Ranukumbolo, estimasi waktu sekitar 5-6 jam. Akan ada 3 post
yang dilewati sebelum akhirnya sampai di Ranukumbolo.
Hujan lebat yang mewarnai pendakian pertamaku ini tak membuat
semangatku pudar. Walau sempat putus asa beberapa kali, dan berpikir untuk
mundur saja, tapi niat itu kuurungkan, mengingat tujuanku kemari adalah untuk
mencapai puncak. Aku pun tidak ingin menyusahkan rombonganku. Aku harus kuat!
Tidak boleh terlihat sakit. Itu sebabnya aku sering berada di jalur belakang,
bukan karena jalanku lambat, tapi karena kondisiku yang tidak sehat, jadi aku
lebih banyak beristirahat ketika benar-benar lelah. Untungnya Robi, sahabatku,
menjadi penguatku saat itu.
Akhirnya jam 9 malam kami sampai di Ranukumbolo. Sepatuku sudah
penuh dengan air hujan, baju yang kukenakan pun lembab! Oh ya, ada satu
kesalahanku yang cukup fatal, aku tidak menyediakan trash bag, yang mana kantong plastik hitam besar itu sangat
berguna untuk melindungi baju-bajuku dari basah! Padahal sebelumnya Robi mewanti-wantiku
untuk hal ini, tapi aku sepelekan. Karena aku tidak berpikir bahwa selama
perjalanan akan hujan. Alhasil, beberapa baju yang kubawa di dalam tas pun ikut
lembab!
Sebenarnya aku ingin membantu mendirikan tenda, namun apa
daya, fisikku saat itu benar-benar lemah. Demi tuhan, aku ingin segera rebahkan
diri. Niatku yang ingin menikmati malam di Ranukumbolo, dengan menyaksikan
langitnya yang penuh bintang sirna begitu saja. Selesai tenda didirikan, aku
langsung istirahat.
Tengah malam sangat menyiksa. Dinginnya Ranukumbolo membuatku
merasa hampir hipotermia. Mampus pikirku. Akankah ini jadi perjalanan
terakhirku? Akankah aku mati di Mahameru? Hanya istighfar yang kuperbanyak
malam itu, aku pasrah terhadap diriku. Sampai akhirnya matahari Ranukumbolo
menyapaku. Aku masih hidup! Aku masih bisa membuka mata dan menghirup oksigen
segar dari Ranukumbolo.
“Kamu sarapan dulu nih. Sama ini ada teh hangat.” Ucap Robi
di depan tendaku.
“Aku nggak bisa nelan Bi, sakit banget sumpah.”
“Harus dipaksain, dari pada perut kosong.”
“hmm btw makasih ya, maafin jadi kamu yang nyiapin hal kaya
gini. Harusnya kan aku ya? Cewek hehe.”
“Iya nih, gimana sih kamu. haha”
Jujur, aku bersyukur ada Robi saat itu. Dia benar-benar
berperan penting dalam pendakianku kali ini. Dia sangat membantuku dan
membuatku merasa lebih baik, walau kondisiku sedikit memprihatinkan.
“Mana barang-barang kamu yang berat, pindahin aja sebagian ke
carrier aku.” Katanya saat kami mulai packing barang.
“Kamu nggak apa-apa? Nanti bawaan kamu makin berat loh.”
Tanpa banyak basi-basi lagi, dia langsung mengeluarkan
beberapa barang yang sekiranya berat dari carrierku, dan memasukkan ke
carriernya. Ah Robi, terima kasih! haha
Sekitar pukul 10 pagi perjalanan dimulai kembali. Tanjakan
cinta! Ya, mitos jika mendaki tanjakan cinta sambil menyebut nama orang yang
kita cintai dalam hati tanpa melihat ke belakang, maka permohonan cinta kita
bisa dikabulkan. Saat itu aku berpikir, siapa yang aku cintai? Siapaaa? Haha.
Aku saat mendaki tanjakan cinta. |
Ah tapi sungguh, godaan untuk melihat ke belakang itu sangatlah berat. Ya sudahlah, karena memang sedang tidak ada nama yang mesti kusebut saat mendaki, aku melihat ke belakang saja! Lagipula, aku tidak percaya mitos sih!
Ya Tuhan indah nian ciptaanmu. Ranukumbolo tampak begitu
cantik dari titikku berdiri. Kabut tipisnya seolah menyatu dengan danau yang
begitu bening. Seketika aku lupa sakitku. Ya, mungkin inilah alasan kenapa
mitos Ranukumbolo itu dibuat, alasan mengapa saat berjalan tidak boleh melihat
ke belakang. Mungkin melihat ke belakang dapat diartikan sebagai melihat masa
lalu, karena masa lalu memang kadang terlihat lebih indah, membuat kita ingin
berlama-lama memandangnya, padahal di depan sana masih ada puncak yang menunggu.
Setelah tanjakan cinta, aku memasuki padang rumput yang luas,
Oro-oro ombo. Padang ini terkenal dengan bunga berwarna ungu yang menyerupai
lavender, pastinya begitu cantik. Hanya sangat disayangkan, bunga ungu tersebut
tidak sedang mekar saat aku ke sana. Yang ada hanya padang rumput biasa dan
ranting yang tampak mati. Kecewa? Bisa dibilang iya.
Oro-oro Ombo dengan bunga ungu yang sedang tak mekar |
Selanjutnya kami beristirahat sebentar di Cemoro kandang yang
merupakan ujung dari Oro-oro Ombo. Di sini rupanya masih ada pedagang. Sepotong
semangka cukup menyegarkan dahaga, walau mesti kutelan dengan rasa perih.
Trek yang kulewati selanjutnya lebih berat. Jika sebelumnya
trek masih landai, hanya jalan lurus berkelok, dan beberapa tanjakan kecil
saja, kali ini berbeda. Trek ke kalimati lebih menguras tenaga karena diwarnai
dengan tanjakan. Sebelum sampai kalimati, kami beristirahat lagi di Jambangan.
Lagi, sepotong semangka dan sebuah pisang mengisi tenagaku yang hampir habis. Warung
yang berada di semua pos menjual makanan yang sama. Semangka, pisang, gorengan,
dan teh manis, 4 menu itu pasti tersedia di semua pos yang kusinggahi.
Akhirnya, sampailah aku di Kalimati yang berketinggian 2700
mdpl. Aku tak menyangka, rupanya kuat juga aku sampai kemari. Di Kalimati tidak
ada sumber air, untuk mendapatkan air harus berjalan ke Sumber Mani sejauh kurang
lebih 1 km. Hanya beberapa orang saja yang saat itu mengambil air, sisanya
mendirikan tenda dan beres-beres.
Mas Ndu (bukan nama sebenarnya), Yahya, dan Hafizh |
Di Kalimati inilah kami akan beristirahat sembari menunggu
summit. Rencananya kami akan summit pukul 11 malam. Tapi karena satu dua hal,
summit pun molor 2 jam. Pukul 1 dini
hari kami memulai perjalanan. Semua barang ditinggal di tenda, hanya barang
berharga, air minum, serta makanan saja yang dibawa. Hal ini karena untuk
menuju puncak memang tidak memungkinkan membawa carrier dan barang berat
lainnya. Dengan bismillah, kumulai
langkahku.
Trek yang terus menanjak membuatku ngos-ngosan. Di tengah perjalanan, ada tragedi kecil. Salah satu
anggota mulai lelah. Kami pun sempat berdiskusi apakah perjalanan akan tetap
dilanjutkan. Beberapa anggota sempat bersitegang, namun syukurnya masalah
teratasi dengan saling meminta maaf. Akhirnya satu persatu dari kami ditanya,
apa sanggup untuk lanjut atau tidak. Pilihannya kali itu, satu turun, semua
turun. Pilihan yang sebenarnya cukup memancing emosiku.
Saat pertanyaan itu menuju padaku, aku dengan tegas menjawab,
“Ini adalah pendakian pertama aku, dan aku nggak mau nyerah sampai di sini. Aku
mau ke puncak.” Terdengar sedikit arogan, namun dengan sungguh hati aku
benar-benar bersemangat kala itu, bahkan sakit dan lelahku seakan menguap
begitu saja. Lagi pula, ada Robi di sampingku, aku percaya aku akan baik-baik
saja.
Arcopodo sudah kami lewati. Ini dia yang paling ditunggu, jalur
ke puncak! Trek yang dilalui adalah pasir berbatu. Maju satu langkah, mundur
dua langkah. Begitu saja seterusnya sampai aku benar-benar lelah. Puncak terasa
begitu jauh, tidak sampai-sampai.
“Kalau jam 9 pagi kita belum sampai juga, itu artinya
perjalanan dihentikan. Kita langsung turun.” Ucap ketua rombongan saat melihat
sunrise berlalu. Ya, kami menikmati sunrise di jalur pendakian.
“Ayo Yun, itu puncak depan mata! Jangan kelamaan
istirahatnya.” Kata Robi yang saat itu mungkin melihat wajahku putus asa.
Ucapan-ucapan tersebut membakar semangatku. Sekarang, aku
sudah benar-benar lupa bahwa aku sakit. “Ayo Bi! Kita harus ke puncak!”
sergahku.
Akhirnya, segala jerihku terbayar! Pukul 8 pagi aku sampai
puncak. Disusul oleh rekan-rekan lainnya. Ya! kami ber-11 akhirnya menapaki puncak Mahameru, 3676 mdpl.
Aku benar-benar tidak sangka, ternyata puncak bisa aku raih. Lautan
awan yang terbentang luas di hadapanku seolah menyambutku seraya berkata “Selamat Yuni! Kamu berhasil sampai ke puncak di pendakian
pertamamu!”
Aku dan Robi, sahabatku |
Aku tahu ini kesalahan, aku seolah ingin menyerahkan nyawa
begitu saja. Tapi dari perjalanan ini juga aku belajar, benar perkara usia
tidak ada yang tahu, mendaki dengan situasi cuaca yang buruk dan kondisi tubuh
sakit bisa saja membuat aku mati. Ya, ceritaku ini sebaiknya jangan ditiru. Karena
jika kamu ingin mendaki pastikan kondisimu sehat 100%.
Aku memang berhasil sampai puncak, tapi rupanya bukan itu yang
kucari setelahnya. Ternyata, ada sebuah tujuan besar yang akhirnya aku sadari,
bahwa tujuan mendaki adalah untuk kembali pulang dengan selamat. Aku rindu
rumah, dan aku ingin pulang.
-Mahameru, 16-20 November 2017-
Salam dariku.
Pemburu Keindahan Dunia.
Komentar
Posting Komentar