Menyusuri Garut Sehari: Niat Berendam di Talaga Bodas, Malah Basah di Darajat Pass
Gemuruh pabrik, asap merah, hutan, sepi, bensin habis, ban bocor, rantai lepas, kurang lebih itu beberapa hal yang sempat mewarnai perjalananku kali ini. Perjalanan sehari menyusuri Garut di penghujung 2019. Hmm apakah perjalanan ini berakhir manis atau miris?
Tepat 28 Desember 2019, aku, dan tiga malaikat hitamku Robi, Ridlo, dan Taufiq memutuskan untuk melancong ke Garut dengan mengendarai motor. Bisa dikatakan ini perjalanan dadakan, tanpa persiapan.
Kiri ke kanan: Taufiq - Robi - Aku - Ridlo |
Sekitar pukul 09.30 WIB, kami berkumpul di terminal Cicaheum, Bandung. Untuk menuju Garut, kami putuskan melalui Jatinangor, sambil cari sarapan.
Ah! Kalau lewat Jatinangor, rasanya ingin nostalgia dengan kampus tercinta, Universitas Padjadjaran (Unpad). Sayangnya, di perjalanan ke Garut kali ini, Jatinangor hanya sebagai tempat mampir untuk makan pagi dan siang alias brunch di Kantin Jatinangor.
Singkat cerita, dari hasil diskusi, kami memutuskan Kawah Talaga Bodas Garut sebagai destinasi pertama. Dengan mengandalkan Google Maps (Gmaps), perjalanan sesungguhnya pun dimulai.
Dan tahu enggak sih guys! Ternyata untuk sampai ke Talaga Bodas kita enggak bisa mengandalkan Gmaps seutuhnya. Soalnya doi mengarahkan kita pada jalur-jalur tuyul, yang enggak manusiawi. Karena itu, bertanya pada warga adalah kuncinya!
Rantai motor Robi lepas. |
Setelah mendapat petunjuk arah yang benar, rupanya patokan jalan menuju Talaga Bodas adalah alun-alun Wanaraja. Penandanya, dari arah Cibatu, tepat di pertigaan sebelum alun-alun belok kiri ke Jalan Talaga Bodas. Atau kalau dari arah Garut, di pertigaan setelah alun-alun belok kanan ke Jalan Talaga Bodas. Entar lurus aja terus ampe mabok! Enggak usah belok-belok!
Enggak terlalu banyak pemandangan yang bisa dinikmati selama perjalanan, karena kanan kiri didominasi bangunan dan rumah warga. Tapi beberapa kilometer sebelum sampai, barulah terlihat pemandangan gunung dan sawah hijau yang menyejukkan mata, beserta angin yang segarnya kayak es kelapa.
Nah, estimasi waktu yang tertulis di Gmaps dari Kantin Jatinangor ke Talaga Bodas itu 1 jam 50 menit. Pada kenyataannya, kami berangkat pukul 10.15 WIB dan sampai pukul 14.31 WIB.
Empat jam pemirsahh.. Itu udah ngebut lho! Oh ya, sekitar tiga kilometer sebelum sampai, kita bakalan disambut sama jalanan yang jeleknya nauzubillah haha. Awas ban pecah!
Memasuki gerbang Talaga Bodas, kita dikenakan biaya tiket sebesar Rp 9500/orang dan Rp 7500 untuk parkir motor (Ini harga weekend ya, kalau weekday Rp 7500/orang dan Rp 5000 untuk motor).
Kita enggak langsung sampai guys! Masih harus jalan kurang lebih 15 menit menuju kawah. Sebenarnya di sini ada ojek pangkalan yang bisa mengantarkan kita ke kawah, biayanya Rp 10ribu sekali antar. Tapi kami memutuskan untuk jalan dengan sisa tenaga yang ada.
Tadammm.. Talaga Bodas pun akhirnya di depan mata! Hmm kalimat pertama yang aku ucapin dalam hati 'Ini nih? Hasil perjalanan panjang 4 jam ampe pantat ilang?' eh 'Hmm ini sih mending ke Kawah Putih Ciwidey aja'.
Jujur, keindahan Talaga Bodas yang kami lihat melalui foto-foto di media sosial cukup berbeda dengan penampakan aslinya. Tidak ada yang bisa dinikmati selain kawah berwarna kebiruan dengan bau khas belerang, ditambah sampah dan ranting-ranting mati yang berserakan. Miris.
Kelihatan keren tapi ya? |
Kami kemudian menyusuri jalan di sekitar kawah, yang ternyata mengarah ke pemandian air panas Talaga Bodas. Melihat pemandian yang sangat terbuka, dengan bau belerang dan sampah yang menyatu, yahh, hilang sudah rasa ingin basah-basah. Yang terpikir hanya satu, aku ingin enyah! Hahaha.
Hmm apa aku berlebihan? Sepertinya tidak. Ini karena penampilan Talaga Bodas tidak cukup untuk membayar perjalanan panjang dan melelahkan yang kami lalui. Sayang sekali, tempat sepotensial ini tidak dirawat dengan baik.
Enggak butuh waktu lama, kami lalu bergerak menuju destinasi kedua, Darajat Pass Water Park. Kami meluncur dari Talaga Bodas sekitar pukul 16.00 WIB dan sampai pukul 20.05 WIB. Empat jam perjalanan lagi? Haha iya, tapi itu udah include solat Maghrib dan Isya, sama makan malam dulu di jalan hehehe.
Masuk Darajat Pass dikenakan tiket Rp 30ribu/orang. Enggak banyak yang kami lakuin di Darajat Pass selain berendam air panas dan mengumpulkan tenaga lagi untuk pulang ke Bandung.
Padahal sebenarnya tempat ini sangat menarik, ada wahana waterboom yang bisa dinikmati, salah satunya permainan seluncur yang menjulang tinggi. Sayangnya, seluncuran tersebut ditutup, mungkin karena sudah malam.
Pengunjung yang semula ramai berubah sepi saat jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, Hmm aku kira di sini buka 24 jam, tapi ternyata pukul 21.00 WIB sudah mulai tutup.
Sepertinya yang buka 24 jam itu pemandian air panas lain di kawasan Darajat Pass ini. Tapi setidaknya Darajat Pass cukup mengobati sedikit rasa kecewaku akibat ekspektasi tinggi pada Talaga Bodas! Hehe.
Udah beres nih petualangannya? Tentu tidak!
Oke, berbeda dengan petualangan lainnya. Nampaknya puncak perjalanan kali ini sebenarnya ada di perjalanan pulang.
Kami kembali mengandalkan Gmaps untuk petunjuk arah menuju Bandung. Rupanya arah pulang yang ditunjukkan Gmaps berbeda dengan arah pergi. Gmaps membawa kami ke daerah Majalaya! Membuat kami menyusuri jalan-jalan gelap tak berlampu.
Ah yang benar saja? Daerah Jawa Barat yang seharusnya maju, masih tak tersentuh listrik? Tak ada lampu jalan? Hm ya, kenyataannya demikian. Dan mungkin banyak lagi daerah seperti ini yang memang belum pemerintah perhatikan.
Melewati jalanan gelap dengan menggunakan bus atau kendaraan roda empat lainnya akan terasa biasa saja. Namun berbeda jika disusuri dengan kendaraan roda dua. Perlu nyali ekstra!
Bukan apa-apa, yang aku takuti sebenarnya adalah manusia itu sendiri. Bagaimana jika di perjalanan yang hanya mengandalkan lampu kendaraan ini, ada manusia-manusia nakal? Bajing loncat misalnya? Atau preman-preman tak bernurani? Ya Tuhan, pikiranku terlalu jauh!
Belum beres ketakutan di jalanan gelap, rantai motor Robi lepas lagi. Entah sudah berapa kali lepas dari pertama kami pergi. Untungnya hanya butuh beberapa menit untuk Robi membenarkan rantai tersebut.
Angin malam semakin menusuk. Dinginnya mencumbu bulu kuduk. Jalanan sangat gelap. Rumah penduduk juga tidak terlihat. Tak ada kehidupan di kanan kiri. Hanya kami berempat di jalanan sepi, beserta beberapa kendaraan yang sesekali turut melintas.
Salah satu hal yang sangat membekas bagiku adalah ketika kami melewati sebuah pabrik raksasa. Dari kejauhan awalnya kukira kebakaran hutan, yang jika aku masuk api siap melahapku.
Semakin mendekat, telingaku dipenuhi riuh suara dentuman. Bak ada prajurit perang di seberang yang siap menyerang! Rona merah yang mencercah langit menjadikan kengerian makin mencekam. Ah, apakah bumi sedang marah? Ataukah ini pintu neraka?
Aku tidak membaca dengan seksama nama pabrik tersebut, pun tidak mencari tahu itu pabrik apa. Yang terlihat dan terlintas di mata hanyalah tulisan 'Pabrik Geothermal'.
Asap merah yang mengepul di udara dengan suara gemuruh pabrik yang bergema di angkasa, membuatku seperti berada pada dimensi lain. Jantungku benar-benar dipompa habis! Ah tempat apa ini? Rasanya seperti berada di perut makhluk raksasa!
Semakin mendekat, telingaku dipenuhi riuh suara dentuman. Bak ada prajurit perang di seberang yang siap menyerang! Rona merah yang mencercah langit menjadikan kengerian makin mencekam. Ah, apakah bumi sedang marah? Ataukah ini pintu neraka?
Aku tidak membaca dengan seksama nama pabrik tersebut, pun tidak mencari tahu itu pabrik apa. Yang terlihat dan terlintas di mata hanyalah tulisan 'Pabrik Geothermal'.
Asap merah yang mengepul di udara dengan suara gemuruh pabrik yang bergema di angkasa, membuatku seperti berada pada dimensi lain. Jantungku benar-benar dipompa habis! Ah tempat apa ini? Rasanya seperti berada di perut makhluk raksasa!
Sayangnya aku lupa mengabadikan momen tersebut. Baru terpikir untuk memotretnya ketika aku menulis tulisan ini. Apa aku harus ke sana lagi? Ah.. Siapa yang sudi? Para malaikat hitamku juga sepertinya tak sudi balik lagi ke sana hahaha.
Baru mau kuhembuskan napas lega karena sudah berhasil melewati 'Makhluk Raksasa' tiba-tiba bensin motor Taufiq mulai merah. Aduh, apalagi ini, Bandung masih sangat jauh.
Hufft, untungnya di tengah jalan kami bertemu dengan pedagang bensin, yang sebenarnya sudah tutup, tapi buka lagi karena Taufiq memohon-mohon (?) haha.. ga selebay itu kok. Baiklah, bensin sudah penuh...
"Jigana ban motor urang bocor euy (kayaknya ban motor aku bocor)," kata Taufiq.
Hmm.. Hmm.. Rasanya pengen hmm hmm yang panjang kayak Nissa Sabyan.. Ada apa dengan malam ini?
Tapi lagi-lagi.. Kami masih beruntung! Alhamdulillah. Tengah malam, ada bengkel yang buka dong. Enggak kebayang deh kalau enggak ada bengkel itu hahaha.
Dan setelah semua masalah beres, kami pun sampai di Bandung dengan selamat! MasyaAllah, Tabarakallah takbir! Allahu Akbar!
Ah sudah terlalu panjang ceritanya guys! Intinya kalau mau main jauh harus dengan persiapan matang, termasuk cek kondisi kendaraan. Lalu, tentukan tujuan, cek rute, cari tahu soal destinasi tersebut dari baca pengalaman orang di internet.
Dan yang paling penting, apapun keadaannya, jangan panik, karena pasti ada jalan keluarnya. Selama enggak sendirian, ada teman, InsyaAllah aman.
Jadi, apa perjalanan ini berakhir manis atau miris? Yaa... Gitu lah pokoknya!
Dan yang paling penting, apapun keadaannya, jangan panik, karena pasti ada jalan keluarnya. Selama enggak sendirian, ada teman, InsyaAllah aman.
Jadi, apa perjalanan ini berakhir manis atau miris? Yaa... Gitu lah pokoknya!
See you! :)
Waw keren deh. 👍
BalasHapusWow aku jadi mau jalan jalan
BalasHapus